Perang Melawan Korupsi: Antara yang Baik, Jahat, dan Duduk Manis
Korupsi adalah problem serius bagi Indonesia. Pemberantasan korupsi tak hanya harus berhadapan dengan kekuatan politik yang korup tapi juga kepemimpinan presiden yang lemah.
Masyarakat mendukung perang melawan korupsi
“Saya harus mengakui bahwa masih banyak pelaku korupsi bahkan di pemerintahan, parlemen, DPRD dan diantara penegak hukum“ kata presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan menyambut hari kemerdekaan di hadapan parlemen, Kamis (16/08).
Sorotan atas masalah korupsi ini disampaikan Presiden Yudhoyono di tengah pertarungan besar antara Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dengan Kepolisian.
Sapu yang Kotor
Sebagaimana dikutip TEMPO, seorang sumber mengatakan bahwa di hadapan ribuan calon perwira, Kepala Kepolisian Timur Pradopo menyebut “Menggeledah tempat orang seenaknya dan menangkap orang seenaknya itu namanya garong”.
Yang dimaksud Kapolri adalah penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan KPK atas kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di bagian lalu lintas kepolisian, akhir Juli lalu. Dengan segala cara, Kepolisian memperlihatkan perlawanan atas upaya pembersihan di dalam tubuh mereka.
Berbagai riset publik menunjukkan bahwa masyarakat menganggap institusi kepolisian sebagai lembaga paling korup. Jajak pendapat Lembaga Survey Indonesia LSI menunjukkan bahwa masyarakat menilai polisi gagal dalam menangani praktek korupsi internal. Sementara survey Transparansi Internasional Indonesia memperlihatkan bahwa 31 persen masyarakat menilai kepolisian sebagai lembaga paling korup.
Presiden Yudhoyono sempat mengundang pimpinan KPK dan kepolisian untuk menyelesaikan masalah ini. Hasilnya mengecewakan, karena dalam pertemuan itu presiden tidak menunjukkan sikap yang tegas mendukung KPK dalam membersihkan korupsi di lingkungan polisi.
Bebek yang Duduk Manis
Majalah The Economist (Edisi Agustus 2012) menulis judul Sitting Duck atau bebek duduk, menyoroti sikap presiden Yudhoyono dalam mengatasi masalah korupsi. „Dia (presiden Yudhoyono) tidak kelihatan seperti bebek lumpuh, tapi lebih seperti bebek yang sedang duduk manis“ tulis majalah itu sambil menambahkan “Dengan berbuat sedikit, presiden Indonesia terlihat baik-baik saja.”
Aktivis anti korupsi dari ICW Emerson Yuntho menyebut presiden tidak pernah betul-betul menunjukkan kepemimpinan dalam perang melawan korupsi.
“Ketika awal menjabat, setiap bulan rata-rata dua kali SBY pidato soal pemberantasan korupsi. Tapi publik hingga kini tak merasakan adanya perubahan” kata Emerson sambil menambahkan bahwa sikap presiden yang membiarkan perang antara KPK dan polisi, adalah bukti bahwa pernyataan SBY soal pemberantasan korupsi hanyalah lips service.
Sikap duduk manis itu pula yang diperlihatkan presiden Yudhoyono dalam menghadapi korupsi di sekitar dirinya. Kata Emerson, paling tidak ada 5 menteri aktif yang telah diperiksa KPK dalam kasus korupsi. Dalam sebuah pernyataan, presiden juga mengaku dirinya tahu bahwa ada menteri yang korup.
„Tapi presiden tidak mengambil langkah politik dengan memecat menterinya. Sikap serupa juga ditunjukkan SBY ketika menghadapi korupsi di partai Demokrat. Sebagai ketua dewan pembina partai, dia hanya mempersilahkan mereka yang terlibat mengundurkan diri. Dia tidak mau mengambil resiko memecat pengurus yang korup“ kata Emerson.
Korup dan Suka Menyogok
Perang melawan korupsi adalah pertaruhan besar bagi masa depan Indonesia. Negara yang selama ini dianggap sebagai salah satu yang paling korup di dunia. Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional tahun 2011 menempatkan Indonesia di ranking 110 dari 178 negara, dengan skor 3. Sebagai catatan skor tertinggi adalah 10. Di kawasan ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand.
Survey Transparansi Internasional lainnya, menempatkan pengusaha asal Indonesia sebagai salah satu yang paling gemar menyogok ketika berbisnis di luar negeri. Berdasarkan Bribery Payers Indexatau Indeks Penyuap di 28 negara, Indonesia menempati urutan keempat, di mana Rusia menempati urutan paling atas dalam perkara sogok-menyogok, disusul Cina dan Meksiko.
Berjalan di Treadmill
Banyak kalangan di Indonesia menganggap bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Kehadiran KPK kini sebetulnya menumbuhkan harapan baru bagi pemberantasan korupsi. Tapi masalahnya, lembaga ini dikepung oleh berbagai kepentingan politik termasuk parlemen.
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Partai Keadilan Sejahtera PKS Fahri Hamzah misalnya, berkali-kali mempersoalkan kewenangan KPK yang dianggap terlalu besar. Beberapa anggota parlemen mulai menyuarakan keinginan untuk memangkas kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Mereka mengusulkan agar lembaga ini hanya mengambil peran pencegahan.
Sikap getol KPK menyidik korupsi di parlemen dan elit partai politik, diduga membuat para politisi gerah dan ingin membonsai peran lembaga pemberantas korupsi ini.
Sinyalemen lain disampaikan Emerson yang mengaku cemas bahwa menjelang pemilihan umum 2014, praktek korupsi akan meningkat. Partai butuh dana, dan mereka memanfaatkan kader-kader mereka di pemerintahan dan parlemen untuk menggalang dana untuk biaya kampanye.
„Pemberantasan korupsi ke depan ibarat jalan di atas treadmill, seakan-akan ada usaha, tapi sebetulnya tidak ke mana-mana“ tutup Emerson Yuntho.
0 comments:
Post a Comment